Sesuai dengan kodrat, manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk hidup bersama dengan manusia lainnya, atau hidup bermasyarakat. Kehidupan bermasyarakat itu mereka saling menjalin hubungan antara yang satu dengan yang lain, karena itulah maka manusia juga disebut sebagai makhluk sosial,

Suatu kenyataan hidup bahwa manusia itu tidak sendiri, dirinya hidup berdampingan bahkan berkelompok-kelompok dan sering mengadakan hubungan antara sesamanya. Hubungan yang terjadi berkenan dengan kebutuhan hidupnya yang tidak mungkin akan dipenuhinya sendiri. Jadi manusia itu hidup bermasyarakat.[1]

 

Kehidupan bermasyarakat tersebut akhirnya mengharuskan  manusia untuk membuat aturan-aturan hidup yang diberlakukan di antara mereka sebagai suatu alat untuk menjaga keharmonisan hubungan dan kehidupan bermasyarakat yagn aman, damai, dan tentram. Kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan kepada suatu kebutuhan yang mendesak, kebutuhan pemuas diri dan bahkan terkadang mempertahankan status diri. Secara umum kebutuhan setiap manusia itu akan dapat dipenuhi, walaupun tidak seluruhnya atau dari orang lain. Terhadap kebutuhan yang mendesak pemenuhannya dan harus dipenuhi dengan segera, biasanya sering dilaksanakan dengan pemikiran yang tidak matang dan merugikan.

Pemikiran yang tidak matang itulah maka ada manusia yang melakukan pemenuhan kebutuhan dengan merugikan lingkungan dan orang lain. Hal inilah yang diatur dalam hukum pidana, bahwa setiap tindakan yang merugikan orang lain atau lingkungan, sebagaimana yang diatur perbuatan tersebut dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP), disebut dengan tindak pidana dan harus dipertanggungjawabkan.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam setiap pemeriksaan melalui proses acara pidana, keputusan hakim haruslah selalu didasarkan atas surat pelimpahan perkara yang memuat seluruh dakwaan atas kesalahan terdakwa. Selain itu keputusan hakim juga harus tidak boleh terlepas dari hasil pembuktian selama pemeriksaan dan hasil sidang pengadilan. Memproses untuk menentukan bersalah tidaknya perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, hal ini semata-mata dibawah kekuasaan kehakiman, artinya hanya jajaran departemen inilah yang diberi wewenang untuk memeriksa dan mengadili setiap perkara yang datang untuk diadili.

Hakim dalam menjalankan tugasnya dalam menyelesaikan suatu perkara, khususnya perkara pidana tidak jarang kita temui bahwa untuk menyelesaikan satu perkara tersebut memerlukan waktu yang cukup panjang, bisa sampai berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan dan mungkin bisa sampai satu tahun lamanya baru bisa terselenggara atau selesainya satu perkara di pengadilan.

Hambatan atau kesulitan yang ditemui hakim untuk menjatuhkan putusan bersumber dari beberapa faktor penyebab, seperti pembela yang selalu menyembunyikan suatu perkara, keterangan saksi yang terlalu berbelit-belit atau dibuat-buat, serta adanya pertentangan kerangan antara saksi yang satu dengan saksi lain serta tidak lengkapnya bukti materil yang diperlukan sebagai alat bukti dalam persidangan.

Berbicara tentang masalah tujuan putusan bebas didalam sistem peradilan pemeriksaan perkara pidana, hal ini tidak terlepas dari tujuan hukum itu sendiri sebagai alat yang dipakai untuk  memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara. Sehingga bilamana suatu hukum atau Undang-undang tidak mempunyai tujuan, tentunya acara pegakan hukum dan hak-hak asasi manusiapun akan berjalan dengan suatu ketidakpastian. Oleh sebab itulah di dalam mencapai suatu tujuan tersebut  kuncinya terletak pada aparat hukum itu sendiri.

Sejalan dengan tugas hakim seperti dijelaskan diatas yakni kemampuan untuk menumbuhkan putusan-putusan atau yang dapat diterima masyarakat. Apalagi terhadap penjatuhan putusan bebas yang memang banyak memerlukan argumentasi konkrit dan pasti, kiranya pantaslah status hakim sebagaimana ditentukan Pasal  1 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelanggarakan negara hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum dan keadilan berdasarkan hukum Indonesia.

Peranan hakim dalam menentukan suatu kebenaran melalui proses peradilan tidak lain adalah putusannya itu sendiri. Maksudnya ada tidaknya kebenaran itu ditentukan atau ditetrapkan lewat putusan. Dan didalam hubungan tersebut jelaslah apa yang ditegaskan bahwa untuk menemukan kepastian, kebenaran dan keadilan antara lain akan tampak dalam apa yang diperankan oleh hakim dalam persidangan, sejak pemeriksaan sampai pada putusan pengadilan bahkan sampai eksekusinya.

Ada beberapa kepentingan dalam mencapai tujuan lewat penjatuhan putusan bebas di antaranya adalah:

1.      Untuk Tujuan Penegakan Hukum Dan Keadilan

Maksud tujuan putusan bebas di dalam penegakan hukum dan keadilan hal ini tidak terlepas dalam penerapan hukum atas ketentuan-ketentuan peradilan itu sendiri. Seperti diketahui bahwa fungsi hukum dalam sistem peradilan adalah mencapai kebenaran, oleh sebab itulah jika memang seseorang berdasarkan pembuktian di hadapan sidang tidak bersalah harus dinyatakan dan dipulihkan kembali haknya lewat pembebasannya dari segala dakwaan yang dituduhkan atas dirinya, atau dengan pengertian lain hukum tidak bisa dipaksakan untukmenghukumnya, bilamana berdasarkan faktanya secara jelas memeng tidak ada kesalahannya.

2.      Perlindungan atas hak asasi manusia.

Bahwa sekalipun tujuan uatma penegakan hukum mempertahankan dan melindungi kepentingan masyarakat, kiranya penegakan hukum tidak boleh sampai mengorbankan hak terdakwa, melainkan harus mampu meletakkan asas keseimbangan yang telah digariskan oleh Undang-undang sehingga antara kedua kepentingan harus dapat ditegakkan keberadaannya. Maka agar para terdakwa apalagi masyarakat benar-benar merasa diperlakukan secara adil, maka hendaknya dengan keputusan hakim inilah dibuktikan. Apalagi kaitannya dengan penjatuhan putusan bebas dari segala dakwaan jaksa hal ini menunjukkan bahwa siterdakwa telah diadili sebagaimana mestinya menurut Undang-undang.

Putusan bebas di sini diartikan bilamana berdasarkan persidangan ternyata terdakwa tidak terbukti, jaganlah hak-hak siterdakwa dikorbankan karena kesangsian menjatuhkan putusan bebas.

Faktor-faktor yang menyebabkan atau menimbulkan kesulitan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan khususnya putusan bebas demi hukum yang bersumber dari pembela yang terbuka terhadap hal-hal yang sudah diketahuinya, hal ini dilatarbelakangi adanya keingginan dari sipembela agar orang yang dibelanya atau kliennya bisa menang dalam perkara yang dihadapi.

 

Sikap ini merupakan tindakan yang memenuhi hakekat dari Undang-undang yang berlaku serta tidak sesuai dengan keberadaan atau fungsi dan tugas para hakim. Jadi sifat pembela yang selalu menutupi permasalahan yang sudah diketahuinya atau sifat yang kurang mendukung untuk menyelesaikan suatu perkara menjadi bertele-tele atau memakan waktu yang panjang. Jika hak ini yang dihadapi seorang hakim maka untuk menggungkapkan permasalahan yang belum terungkap dari si pembela maka teknik dan cara serta seni tersendiri bagi hakim agar mampu mendapatkan informasi yang lebih banyak dari sipembela.

Faktor berikut yang juga merupakan kesulitan sekaligus sering dijumpai seorang dalam menjatuhkan putusan bebas demi hukum adalah bersumber dari saksi, kesulitan yang dijumpai oleh hakim yang bersumber dari saksi ini ada beberapa cara yang dilakukannya, yaitu adanya saksi yang memberikan penjelasan yang berbelit-belit yang dapat menyulitkan hakim dalam mengambil kesimpulan dari penjelasan para aksi tersebut yang pada akhirnya dapat menghambat jalannya proses persidangan untuk mencari kebenaran dan keadilan.

Saksi yang memberikan keterangan yang berbelit-belit disebabkan beberapa hal, yaitu adanya rasa takut memberikan keterangan yang sebenarnya karena saksi tidak menginginkan dengan memberi kesaksian terjadi efek negtif terhadap dirinya di belakang hari, serta para saksi kurang menyadari fungsi kesaksian tersebut dengan maksud bahwa tanpa adanya bantuan para saksi permasalahan atau menetapkan suatu keputusan.

Hal ini merupakan permasalahan yang bersumber dari saksi yang dapat menyulitkan hakim dalam persidangan. Kesulitan lain yang bersumber dari saksi yaitu adanya keterangan saksi yang berbeda dengan keterangan dalam berita acara, di mana pada waktu proses pemeriksaan sisaksi memberikan keterangan yang berbeda jadi ada kecondongan sisaksi tidak mengakui penjelasan yang diberinya di luar persidangan.

Beberapa hal yang menyebabkan kesulitan bagi hakim untuk menentukan suatu putusan seperti di atas, yaitu yang bersumber dari pembela dan saksi maka akhirnya kesulitan yang paling menyulitkan bagi hakim dalam menentukan suatu putusan yaitu tindakan siterdakwa yang selalu memberikan penjelasan yang berbelit-belit.

Menurut peraturan yang berlaku seorang terdakwa sebelum memberikan penjelasan di muka persidangan oleh petugas penyidik untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada si terdakwa dan seluruh jawaban yagn diberikan si terdakwa dicatat dan dimasukkan kedalam berita acara penyidikan, setelah itu baru berita acara tesebut dibawa ke depan persidangan dan didalam hal ini terjadi perbedaan penjelasan waktu siterdakwa diperiksa di luar dengan didalam persidangan, jadi dengan demikian siterdakwa yang memberikan penjelasan atau keterangan kepada hakim yang berbelit-belit atau tidak sesusai dengan berita acara pemeriksaan hal ini dapat menyulitkan bagi seseorang hakim untuk menentukan putusan khususnya putusan bebas demi hukum.

Hakim sebagai orang yang menjalankan hukum berdasarkan demi keadilan di dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara yang ditanganinya tetap berlandaskan aturan yang berlaku dalam undang-undang dan memakai pertimbangan berdasarkan data-data uang autentik serta para saksi yang dapat dipercaya. Tugas hakim tersebut dalam mempertimbangkan untuk menjatuhkan suatu putusan bebas dapat dilihat dalam Pasal  191 ayat (1) KUHAP yang menyatakan: “jika pengadilan bar pendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan menyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.[2]

Hal yang tergambar dalam Pasal  di atas juga termasuk dalam ruang lingkup putusan setelah adanya bukti perbuatan yang didakwakan kepadanya  tidak terbukti secara sah dan meyakinkan itu adalah tidak cukup bukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana. 

Mengenai alat bukti yang dipergunakan sebagai bahan pertimbangan hakim, menurut KUHAP harus ada alat-alat bukti yang sah, di mana alat bukti tersebut berupa keterangan ahli, surat, petujuk dan keterangan terdakwa seperti hal ini bertujuan untuk mendapat keyakinan hakim bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Hal ini bertujuan untuk menguatkan dakwaan terhadap terdakwa telah memenuhi unsur dari tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa adalah sudah cukup bagi hakim untuk menjatuhkan suatu pidana. Karena hal ini sesuai dengan alat bukti yang ditentukan dalam KUHAP yakni suatu tindak pidana itu benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut.

Dakwaan yang tidak dapat lagi dijadikan sebagai pedoman akhirnya mengakibatkan terdakwa menjadi kabur dapat mengakibatkan keyakinan hakim dalam mempertimbangka alat bukti semakin berkurang sehingga pada akhirnya persidangan tidak dapat lagi dilanjutkan atau hakim akan mengambil putusan bebas demi hukum.

Keterangan saksi dalam persidangan juga dapat mempengaruhi keyakinan hakim dalam mempertimbangkan bukti-bukti itu yang diterima apabila keterangan yang diberikan saksi dalam persidangan hanya dibuat-buat menurut terkaan atau pemikiran saja atau keterangan dari saksi disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain seperti dijelaskan dalam Pasal  185 KUHAP, dimana ruang lingkup pidana seseorang melapor, memberitahu kan kepada pejabat kepolisian negara serta mengatakan bahwa dirinya melihat si A melakukan pembongkaran.

Namun setelah laporan diterima oleh peyidik mereka tidak boleh gegabah menangkap si A dan menghukumnya tanpa alasan yang sah, sebab satu saksi bukanlah saksi. Dari penjabaran ini terkandung suatu arti yang sangat penting baik untuk diperhatikan oleh penyidik, jaksa penuntut umum maupun hakim dan penasihat hukum bahwa di dalam praktek juga sering di sebut secara singkat dengan perkataan satu saksi bukanlah saksi atau unus testis nullus testis.

Hakim dalam mempertimbangkan suatu putusan harus berdasarkan kepada bukti-bukti autentik, seperti surat dakwaan, keterangan saksi dan bukti-bukti lainya seperti yang diperlukan dalam pelaksanaan proses persidangan maupun sebelumnya maka jelas surat dakwaan tersebut tidak relevan dijadikan sebagai dasar pembuktian maka dakwaan akan kabur atau obscurlibel.

Dakwaan yang tidak dapat lagi dijadikan pedoman akhirnya mengakibatkan terdakwa itu menjadi kabur dapat mengakibatkan keyakinan hakim dalam mempertimbangkan alat-alat bukti semakin berkurang, sehingga pada akhirnya persidangan tidak dapat lagi dilanjutkan ayau hakim akan mengambil putusan bebas.Demikian halnya dengan keterangan yang diberikan saksi dalam persidangan juga dapat mempengaruhi keyakinan hakim dalam mempertimbangan alat-alat bukti tersebut yang diterima apabila keterangan yang diberikan para saksi hanya seorang saja atau jawaban yang diberikan saksi dalam persidangan hanya dibuat-buat menurut terkaan atau pemikiran saja. Keterangan saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain seperti dijelaskan pada Pasal  185 KUHAP.

 

[1]     R. Abdoel Djamali, 1999, Pengantar Hukum Indonesia , PT. Raja Grafindo, Jakarta, hal 1

[2] Departemen Kehakiman, 1981, Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Yayasan Pengayoman, Jakarta , hal 86